Di antara negara-negara Asia, rokok di Indonesia memiliki harga yang rata-rata yang sangat murah, dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand dan bahkan India. Pada 2015, Oxford Business Group mengungkapkan bahwa di Indonesia, rokok dapat dijual secara eceran dengan harga rata-rata US$ 0,10 (atau sekitar Rp1.000) per batang.[1] Satu bungkus rokok di Indonesia dapat dijual seharga Rp 5.900,00 (0,45 US$), termasuk yang termurah di dunia.[2] Rata-rata harga satu bungkus rokok di Indonesia sekitar US$ 1,65 jauh lebih rendah dari harga rata-rata harga di dunia (yang adalah US$ 3,38), maupun di Asia Pasifik (yang adalah US$ 4.67). Harga rokok di Indonesia menduduki ranking rokok termurah peringkat 10 dari 36 negara Asia Pasifik.[3]
“Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena rokok di Indonesia demikian terjangkau, dapat diakses bukan hanya oleh keluarga miskin – tetapi juga oleh anak-anak. Inilah yang mendorong kami untuk membangun wacana penetapan cukai dan harga rokok yang lebih tinggi demi pengendalian konsumsi yang lebih baik, utamanya di antara kedua kelompok konsumen tadi,” jelas Direktur Program Center for Indonesia’s Strategic Initiative (CISDI), Anindita Sitepu.
Sejak Agustus 2018 lalu, CISDI secara rutin menggelar diskusi Ruang.Temu (baca: Ruang Titik Temu), untuk berbagi pemahaman dan mendorong pembentukan opini tentang tarif cukai dan harga rokok di Indonesia. Diskusi ke-2 yang diselenggarakan pada 6 September 2018 lalu menghadirkan tiga narasumber yaitu Nurul Luntungan (CISDI), Yasha Chatab (pakar branding dan komunikasi pemasaran) dan Laila Munaf (pegiat gaya hidup sehat dan pendiri Sana Studio), dipandu moderator Sari Soegondo (Founder dan Direktur Eksekutif ID COMM).
Anindita menegaskan bahwa semua pihak perlu mendengar pendapat masyarakat awam tentang kegiatan transaksi dan budaya konsumsi rokok sehari-hari di lingkungan terdekat mereka. “Melalui kesempatan ini kita belajar bagaimana kelompok masyarakat yang telah memiliki kesadaran untuk mempraktikkan gaya hidup sehat dapat melindungi dirinya dari pengaruh informasi promosi rokok. Harga penjualan rokok menentukan bagaimana kegiatan pemasaran produk tersebut dilakukan, dan sebaliknya perlu cara pemasaran yang lebih terkendali bagi produk yang membahayakan kesehatan publik seperti rokok. Oleh sebab itu kali ini kami juga melibatkan para social influencers di bidang komunikasi pemasaran,” imbuhnya.
Diskusi dibuka dengan mengungkapkan fakta bahwa harga jual saat ini masih belum memberi dampak optimal bagi penurunan angka perokok. “Saat ini di Indonesia, perokok aktif berjumlah 30% dari total populasi dan 60% didominasi oleh laki-laki. Fakta lain yang cukup mengerikan adalah jumlah perokok anak di bawah 18 tahun terus meningkat, yaitu dari 7,2 % di tahun 2009 menjadi 8,8 % di tahun 2016. Angka ini semakin jauh dari target Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yang berada di 5,5%. Fakta ini menggambarkan bahwa belum ada dampak signifikan dari kenaikan harga rokok setiap tahunnya,” ungkap Nurul Luntungan.
Nurul juga menekankan pada dampak signifikan akibat tingginya prevalensi merokok di Indonesia, yaitu kerugian negara yang mencapai Rp 500 triliun, yang dihitung dari jumlah uang yang ‘dibakar’ untuk merokok, opportunity loss karena sakit akibat merokok, biaya pengobatan penyakit yang diakibatkan oleh rokok, dan waktu produktif yang ‘hilang’ akibat merokok.
Menyentuh topik layanan kesehatan melalui BPJS, Nurul mengatakan, “Beban negara yang besar dapat dilihat dari kenyataan bahwa 25% klaim BPJS adalah untuk penyakit akibat rokok di antaranya jantung dan kanker paru. Misalnya, dari 10 orang pasien kanker paru, 9 orang di antaranya umum disebabkan oleh kebiasaan merokok.” CISDI merujuk pada data bahwa BPJS Kesehatan saat ini mengalami defisit; dimana pemasukannya hanya sekitar Rp 150 triliun, namun pengeluarannya mencapai Rp 600 triliun untuk biaya pengobatan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh rokok.
Terkait dengan tingginya beban BPJS tersebut, diskusi ini kemudian mempersoalkan besaran dan alokasi pemanfaatan hasil cukai rokok. Wacana yang semakin besar terbangun adalah bahwa sebagai salah satu produk yang dapat menimbulkan adiksi, maka sudah sepatutnya hasil cukai rokok dimanfaatkan untuk biaya pengobatan atas penyakit akibat rokok.
“Analogi yang sama juga berlaku bagi produk-produk yang mengandung alkohol, dimana tarif cukai yang dikenakan begitu tinggi karena didasari kesadaran akan bahaya konsumsinya. Nah, masyarakat pada umumnya belum paham bahwa cukai bukanlah pendapatan negara untuk kepentingan pembangunan umum. Sebaliknya cukai seharusnya dialokasikan untuk mengontrol dampak yang mungkin ditimbulkan oleh produk tersebut,” tutur Sari Soegondo saat memandu jalannya diskusi.
Egi Abdulwahid, salah satu peserta diskusi, menukas, “Kategori (tier) cukai di Indonesia terlalu banyak, karena mengikuti varian produk yang terlalu banyak. Ini menyulitkan kontrol otorita cukai dan memudahkan produsen untuk berimprovisasi secara penetapan harga.”
Yasha Chatab, Director of Overseas Development WIR Group yang juga adalah pendiri Indorunner, mengatakan, “Industri rokok sebenarnya menjelang sunset, namun secara inovatif terus berupaya ‘menunda’ sunset tersebut. Oleh sebab itu industri ini melahirkan begitu banyak variasi produk dan harga jual untuk menggairahkan konsumen, membubuhkan emotional value di tiap-tiap varian, menyuburkan marketing game bahkan di antara brand kompetitor itu sendiri, dan seterusnya.”
Secara menarik Yasha juga mengatakan bahwa perlu perumusan kebijakan dan penegakkan peraturan yang lebih baik untuk membatasi promosi rokok – utamanya untuk melindungi anak-anak dari terpaan pesan-pesan rokok. “Sepanjang law enforcement belum diimplementasikan secara sungguh-sungguh, maka tim komunikasi pemasaran rokok akan terus mencari cara sekreatif mungkin untuk memanfaatkan celah yang belum diregulasi.”
Sebagai ibu rumah tangga, Laila Munaf, yang juga adalah pegiat gaya hidup sehat mengungkapkan kekhawatirannya, “Perlu ada kesepakatan sosial dan gerakan publik untuk menurunkan angka perokok – terutama anak-anak – di Indonesia. Kita bisa memulainya dari diri sendiri, misalnya menegur anak-anak yang kedapatan merokok, para influencer gaya hidup sehat ‘memagari’ diri dari tawaran sponsor brand rokok, mendorong naiknya harga rokok, atau pun hal-hal yang lain yang dapat membatasi ruang gerak promosi rokok.”
Penggagas NusantaRun Christopher Tobing yang juga hadir dalam sesi ini mengatakan, “Kita bisa mereplikasi apa yang dilakukan oleh para pejuang pelestarian lingkungan. Pengendalian diri terhadap konsumsi atau pemanfaatan materi-materi yang mengandung plastik kini semakin populer dan konsumen bangga diasosiasikan dengan upaya baik ini. Mungkin perlu ada atribut sosial tertentu yang diciptakan bagi mereka yang tidak merokok.”
Counter message bagi konsumen anak-anak, menurut Adeline salah satu peserta diskusi, “Fear Communication yang membangkitkan rasa takut untuk merokok dengan menunjukkan visual penyakit yang dapat ditimbulkannya, menurut studi yang baru-baru ini saya lakukan, terbukti masih ampuh.” Hal ini dipahami bahwa anak-anak belum memiliki otonomi untuk mengelola informasi yang abstrak dan membuat keputusan.
“Di kelompok yang lebih dewasa, studi yang sama memperlihatkan perokok akan enggan membeli jika harga jual rokok menembus Rp 50.000. Ini menjadi benchmark harga jual yang bisa kita perjuangkan,” tambahnya.
Diskusi ini mengerucut pada kesepakatan para social change-makers yang berpartisipasi dalam diskusi ini terhadap upaya penurunan prevalensi merokok di Indonesia.
Pertama, diskursus tentang rokok perlu mengikutsertakan sudut pandang lain selain kesehatan, yaitu sudut pandang ekonomi yang dapat memberikan intervensi terhadap besaran tarif cukai rokok dan harga jualnya.
Kedua, selain melakukan kampanye edukasi secara berkelanjutan, maka para social change-makers diharapkan dapat ikut menjadi kelompok yang mampu mengontrol kebijakan terkait rokok sehingga dapat memberikan masukan bagi bergulirnya proses pembuatan kebijakan terkait.
Ketiga, sudah saatnya harga rokok di Indonesia dinaikkan setinggi-tingginya agar mampu menurunkan angka perokok di Indonesia, utamanya di antara kelompok rentan; anak dan remaja, serta keluarga miskin.