Agar seorang atlet berprestasi optimal saat bertanding diperlukan komponen fundamental, yaitu kebugaran fisik (ketahanan sistem jantung pembuluh darah, fleksibilitas, kekuatan dan ketahanan otot) , keterampilan yang baik (reaksi, kegesitan, kecepatan, koordinasi, keseimbangan dan tentu saja power atau kekuatan).
Pertanyaannya apakah hubungan seks itu boleh dilakukan atau tidak?
Kita semua tentu pernah mendengar mitos bahwa agar atlet berperformans baik harus menjalankan abstinensia menjelang kompetisi. Teori ini berdasar bahwa frustasi seks akan mendorong meningkatnya agresivitas sedangkan proses ejakulasi menurunkan kadar testoteron.
Apakah semuanya ini benar? Apakah teori ini berdasarkan keilmuan ? Jawabannya adalah tidak.
Mitos abstinensia sudah tidak lagi dianut oleh para atlet. Agresivitas memang sangat dibutuhkan untuk olahraga tertentu misalnya tinju, karate dan sepakbola. Shaun Smith , seorang pemain football sebagai spesialis tackling berpendapat bahwa dia tidak boleh terlalu relaks bahkan lemah saat bertanding. Di sisi lain seorang wanita pelari jarak menengah juga mengatakan kita harus menumbuhkan rasa marah dan agresif saat berlari untuk dapat memenangkan pertandi\ngan. Sebagai atlet profesional dalam karirnya dukungan suporter sangat diperlukan agar tetap eksis sehingga atlet tersebut di atas mengakui konsep bahwa seks membuat dia terlalu relaks dan terhanyut dalam ketenangan.
Timbul pertanyaan apakah kondisi yang terbelenggu ini akan menghasilkan performans terbaik saat di arena pertandingan?
Pada tahun 2000, Clinical journal of Sport Medicine mempublikasikan beberapa artikel studi yang menguji secara luas parameter psikologi dari performans atlet.
Studi ini menampik keyakinan yang sudah berkembang luas termasuk dugaan bahwa seks menyebabkan kelemahan otot. Ternyata dibuktikan bahwa tidak terjadi penurunan kekuatan atau kemampuan aerobik termasuk VO2max dan lain-lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa tidak benar apa yang selama ini diyakini bahwa seks menjelang kompetisi akan membuat atlet kelelahan. Sebenarnya seks bukanlah sesuatu aktivitas yang mutlak dibutuhkan. Hubungan seksual hanya membutuhkan 25 – 50 kalori yang setara dengan energi yang dibutuhkan untuk naik tangga bangunan dua lantai. Dan seandainya hubungan seksual dilakukan sangat agresif hanya membutuhkan 250 kalori.
Oleh karena itu para pakar menolak anggapan bahwa seks menjelang pertandingan menimbulkan efek kelelahan yang dapat melemahkan otot-otot. Justru diklaim bahwa banyak manfaat kesehatan yang diperoleh dengan aktivitas ini.
Aktivitas seks yang teratur berperan penting untuk kondisi fisik dan emosi. Para peneliti menyatakan bahwa seks bermanfaat untuk kesehatan karena meningkatkan system imun, mengurangi rasa sakit, membantu regulasi hormon dan menyembuhkan migraine dan sakit kepala.
Seks yang aman dan teratur merupakan latihan fisik yang baik. Seperti latihan fisik lainnya maka seks juga menjaga level kadar cholesterol dan meningkatkan sirkulasi darah. Bila seseorang terangsang secara seksual maka terjadi peningkatan kerja jantung dan pernapasan. Selanjutnya rangsangan seksual yang meningkat dan berujung pada orgasme maka saat itu juga terjadi pengeluaran beberapa hormon antara lain adrenalin, noradrenalin, prolactin, DHEA (dehydroepiandrosterone) dan testoteron.
Dan yang menarik studi ini juga menyimpulkan bahwa aktivitas seksual yang teratur akan menggandakan kadar testoteron kesemua hormon dan ini bersifat kardioprotektif. Jadi disamping dirasakan kenikmatan juga terjadi penguatan jantung dan sistim sirkulasi darah. Para pakar sport medicine pun mengatakan bahwa tidak perlu dicemaskan untuk menggabungkan masalah seksual dengan kegiatan olahraga. Bahkan aktivitas ini membantu athlet lebih mudah tidur dan istirahat. Kalau seseorang melakukan aktivitas seksual secara regular maka abstinensia justru akan mengganggu. Yang disarankan adalah aktivitas itu dilakukan tidak terlalu dekat dengan saat bertanding.
Beberapa studi mengindikasikan bahwa atlet justru memerlukam aktivitas seksual lebih dari non athlet. Kedua aktivitas ini saling mengisi satu dengan yang lain. Dimana latihan yang regular akan dapat meningkatkan kehidupan seksual. Menimbulkan badan lebih fit dan meningkatnya kepercaayaan diri sendiri.Studi ini juga menemukan bahwa aktivitas seksual akan menghasilkan efek analgesic pada wanita sehingga meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit atau cidera. Dikatakan bahwa stimulasi seksual mempengaruhi pelepasan Substan P yang merupakan neuropeptida yang terlibat dalam transmisi impuls-impuls rasa sakit. Dan efek ini berlangsung terus selama kurang lebih 24 jam.
Studi lain pada tahun 2004 menemukan bahwa pada 27 orang pria yang berhasil dalam pengobatan disfungsi ereksi dan kemudian melakukan aktivitas seksual secara teratur ternyata terjadi kadar testoteron naik cukup banyak. Studi lain yang dilakukan pada pria dan wanita sehat mendukung adanya respons fisiologis ini. Penelitian lain untuk perspektif yang berbeda, respons seperti ini menunjukan bukti yang kuat bahwa sesudah 3 bulan tanpa seks maka kadar testoteron akan turun secara drastis mendekati kadar kanak-kanak. Ini memperlihatkan bahwa abstinensia tidak benar menaikan testoteron dan agresivitas. Bahwa benar kalau agresivitas dipengaruhi oleh kadar testosteron. Tetapi tidak signifikan kalau kadar testosteron meningkat akan selalu menimbulkan perilaku agresif.
Pakar psikologi olahraga mengatakan relaksasi dikaitkan dengan seks akan juga membantu mengurai stres menghadapi kompetisi. Kesimpulannya bukti-bukti psikologis ini tidak mendukung keyakinan tentang abstinensia dan justru mengapresiasi bahwa seks akan dapat membantu atlet.
Jadi kuncinya atlet perlu konsisten mempertahankan keteraturan tidur dan aktivitas seksualnya disamping latihannya sendiri untuk bisa mempertahankan performansnya saat bertanding. (Disarikan dari beberapa sumber)