Oleh: Dr. Maya Lestari Widyastuti
Sekedar mengingatkan Anda, darah Adalah salah satu komponen terpenting dalam tubuh, peranannya sebagai medium pertukaran antar sel dengan lingkungan luar, serta memiliki sifat-sifat protektif terhadap organisme sebagai suatu kseluruhan dan khususnya terhadap darah sendiri. Dampak apa yang terjadi jika kadar darah dalam tubuh kita menurun?
Sel darah merah atau eritrosit adalah merupakan sel lunak, karena sel itu lunak dan lentur maka dalam perjalanannya melalui mikrosirkulasi konfigurasinya berubah. Komponen utama sel darah merah adalah protein hemoglobin (Hb) yang mengangkut O2 dan CO2 juga mempertahankan pH normal. Pembentukan hemoglobin terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium pematangan. Sel darah merah memasuki sirkulasi sebagai retikulosit dari sumsum tulang. Retikulosit adalah stadium terakhir dari perkembangan sel darah merah yang belum matang. Sejumlah kecil hemoglobin masih dihasilkan selama 24-48 jam pematangan. Waktu sel darah merah menua, sel ini menjadi lebih kaku dan lebih rapuh akhirnya pecah.
Perubahan massa sel darah merah menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah sel darah merah kurang, maka timbul Anemia. Jumlah sel darah merah kira-kira 5 juta per milimeter kubik darah pada rata-rata orang dewasa, dan berumur 120 hari. Keseimbangan yang tetap dipertahankan antara kehilangan dan pergantian sel darah setiap hari. Pembentukan sel darah merah dirangsang oleh hormone glikoprotein, eritopoetin, yang dianggap berasal dari ginjal. Pembentukan eritopoetin dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perubahan O2 atmosfir, berkurangnya kadar O2 darah arteri, dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin.
Eritopoetin merangsang sel induk untuk memulai proliferasi dan pematangan sel darah merah. Selanjutnya pematangan tergantung pada jumlah zat-zat makanan yang cukup, seperti vitamin B12, asam folat, protein-protein, enzim-enzim, dan mineral seperti besi dan tembaga.
Apa itu anemia?
Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemeriksaan fisik yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada; kecepatan timbulnya anemia, umur individu, mekanisme kompensasinya, tingkat aktifitasnya, keadaan penyakit yang mendasari, dan parahnya anemia tersebut.
Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang dikirim ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih) seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatologi sekunder hivopolemia dan hipoksemia. Tanda dan gejala yang sering timbul adalah gelisah, diaforesis (keringat dingin), takikardi, sesak napas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat atau syok.
Pengurangan hebat massa sel darah merah memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik (tanpa gejala) kecuali pada kerja jasmani berat. Mekanisme kompensasi tubuh bekerja melalui:
(1) Peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2 kejaringan-jaringan oleh sel darah merah.
(2) Meningkatkan pelepasan O2 oleh Hemoglobin (Hb).
(3) Mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan.
(4) Redistribusi aliran darah organ-organ vital.
“Tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Selain itu, akan melahirkan anak-anak dengan daya tahan rendah terhadap infeksi.”
Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat. Warna kuku, telapak tangan, membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih sebagai indeks untuk menilai kepucatan. Pada anemia berat dapat menyebabkan payah jantung kongestif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat.
3 Klasifikasi besar
Anemia Normositik Normokrom, dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal (MC dan MCHC normal atau normal rendah). Penyebab anemia jenis ini yaitu kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Anemia Makrositik Normokrom, ukuran sel darah merah lebih besar dari normal tetapi hemoglobinnya normal (MCV meningkat, MCHC normal). Hal ini diakibatkan oelh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat, yang juga dapat terjadi pada kemoterapi kanker.
Anemia Mikrositik Hipokrom, mengandung hemoglobin dalam jumlah kurang dari normal (MCV kurang, MCHC kurang). Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi) seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan darah kronik atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia.
Meningkatnya kehilangan darah dapat disebabkan oelh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau karena pendarahan kronik, penyakit keganasan, hemoroid, atau menstruasi.
Setiap keadaan yang memperngaruhi sumsum tulang dapat menyebabkan gangguan pembentukan sel darah. Keadaan yang dapat mempengaruhi adalah keganasan, penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit infeksi dan defisiensi endokrin, kekurangan vitamin seperti B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat menyebabkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menyebabkan anemia.
Beberapa jenis Anemia lainnya:
Anemia Aplastik, suatu gangguan pada sel-sel induk di sumsum tulang, pada keadaan ini sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai, dan dapat menyebabkan kematian.
Anemia defisiensi besi, termasuk dalam anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin. Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terdapat pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil. Dalam keadaan normal, tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5g besi, bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Setiap mililiter darah mengandung 0,5mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, namun wanita yang mengalami menstruasi mendapat tambahan 15-28mg/bulan. Walaupun selama hamil tidak menstruasi, tetapi kebutuhan besi harian tetap meningkat dikarenakan volume darah ibu selama hamil meningkat. Penderita anemia defisiensi besi yang berat (Hb 6-7g/100ml), mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan berbentuk seperti sendok (koilonikia), lidah tampak pucat, licin, mengkilat meradang dan sakit, dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah kemerahan dan sakit disudut-sudut mulut.
Anemia Megloblastik, termasuk anemia makrositik normokrom. Sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsorpi, kekurangan faktor intrinsik, infestasi parasit, infeksi cacing pita akibat makan ikan yang terinfeksi mengakibatkan anemia defisiensi besi. Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50mg, sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati, ginjal) dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi, cara menyiapkan makanan yang benar diperlukan guna menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya, 50%-90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air.
Wanita lebih rentan
Tubuh punya mekanisme menjaga keseimbangan zat besi dan mencegah berkembangnya kekurangan zat besi. Tubuh mampu mengatur penyerapan zat besi sesuai kebutuhan tubuh dengan meningkatkan penyerapan pada kondisi kekurangan dan menurunkan penyerapan saat kelebihan zat besi. Mereka yang berdiet memiliki kemungkinan menderita anemia karena diet yang berpantang telur, daging, hati, atau ikan. Padahal jenis pangan itu sumber zat besi yang mudah diserap tubuh. Tak heran bila para vegetarian cenderung mudah menderita anemia. Apalagi disertai kebiasaan tidak teratur tanpa kualitas makanan seimbang. Demikian pula pengidap gangguan penyerapan zat besi dalam usus. Ini bisa terjadi karena gangguan pencernaan atau dikonsumsinya subtansi penghambat seperti kopi, teh, atau serat makanan tertentu tanpa asupan zat besi yang cukup.
“Wanita perlu memberi perhatian khusus pada anemia. Dimulai pada masa pubertas saat remaja mengalami haid, dimana pada fase ini sangat diperlukan zat gizi cukup seperti zat besi, vitamin A, dan kalsium.”
Sayangnya, akibat menstruasi wanita harus kehilangan zat besi hingga dua kali jumlah yang dikeluarkan pria. Pada wanita dewasa dengan berat badan 55 kg, zat besi yang keluar lewat saluran pencernaan dan kulit atau kehilangan basal berjumlah 0,5 – 1,0 mg per hari. Sedangkan jumlah zat besi yang hilang karena haid, pada 95% populasi adalah 1,6 mg per hari. Sehingga jumlah zat besi yang hilang akibat haid ditambah kehilangan basal menjadi sekitar 2,4 mg per hari pada 95% populasi.
Tak heran bila wanita menderita kekurangan zat besi karena hilangnya zat itu di kala haid tiap bulan tanpa diimbangi asupan makanan yang cukup mengandung zat besi. Kehilangan zat besi lewat haid pada wanita biasanya konstan, tetapi bervariasi jumlahnya di antara kaum wanita. Dapat dimengerti bila beberapa wanita perlu zat besi lebih banyak dari wanita lain. Penyebab lain adalah kecenderungan wanita berdiet karena ingin mempertahankan bentuk tubuh ideal, tanpa mempertimbangkan jumlah zat gizi penting yang masuk, terutama zat besi.
Selain menstruasi, kondisi rawan lain adalah saat hamil dan menyusui. Anemia adalah masalah kesehatan dengan prevalensi tertinggi pada wanita hamil. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah 70%, atau 7 dari 10 wanita hamil menderita anemia. Pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.
Pada banyak wanita hamil, anemia gizi besi disebabkan oleh konsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat gizi dan kebutuhan yang meningkat. Selain itu, kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan zat besi ibu yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Jadi, kebutuhan zat besi untuk tiap wanita berbeda-beda sesuai siklus hidupnya. Wanita dewasa tidak hamil, kebutuhannya sekitar 26 mg per hari, sedangkan wanita hamil perlu tambahan zat besi sekitar 20 mg perhari. Saat menyusui, meski biasanya wanita tidak mengalami haid, ibu tetap kehilangan zat besi dan kalsium melalui ASI. Selain kehilangan basal normal sekitar 0,8 mg, kehilangan zat besi melalui ASI mencapai sekitar 0,3 mg per hari. Maka, ibu menyusui butuh tambahan zat besi 2 mg per hari serta kalsium 400 mg per hari.
Awasi pola makan
Penanggulangan anemia – terutama untuk wanita hamil, wanita pekerja, dan wanita yang telah menikah prahamil, sudah dilakukan secara nasional dengan pemberian suplementasi pil zat besi. Malah ibu hamil sangat disarankan minum pil ini selama tiga bulan, yang harus diminum setiap hari. Penelitian menunjukkan, wanita hamil yang tidak minum pil zat besi mengalami penurunan cadangan besi cukup tajam sejak minggu ke-12 usia kehamilan. Sayangnya, cara ini memberikan efek seperti mual, diare, dan lainnya. Maka, alternatifnya adalah mengkonsumsi makanan yang diperkaya dengan zat besi, misalnya berbentuk susu atau roti.
Suplemen tablet besi memang diperlukan untuk kondisi tertentu, wanita hamil dan anemia berat misalnya. Penderita anemia ringan sebaiknya tidak menggunakan suplemen besi, lebih tepat bila mereka mengupayakan perbaikan menu makanan. Misalnya, dengan meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi seperti telur, susu, hati, ikan, daging, kacang-kacangan (tempe, tahu, oncom, kedelai, kacang hijau), sayuran berwarna hijau tua (kangkung, bayam, daun katuk), dan buah-buahan (jeruk, jambu biji, pisang). Perhatikan pula gizi makanan dalam sarapan dan frekuensi makan yang teratur, terutama bagi yang berdiet.
Biasakan pula menambahkan substansi yang memudahkan penyerapan zat besi seperti vitamin C, air jeruk, daging, ayam dan ikan. Sebaliknya, subtansi penghambat penyerapan zat besi seperti teh dan kopi patut dihindari. Berkonsultasilah dengan dokter bila anemia berkaitan dengan kesehatan, misalnya infeksi, penyakit kronis, atau gangguan pencernaan.