Beberapa ahli mengatakan bahwa metode menghitung kalori sudah usang dan inilah alasannya.
Meski jenis makanan yang berbeda memiliki jumlah kalori yang sama, mereka mungkin tidak memiliki nilai nutrisi dan gizi yang sama. Misalkan, segelas susu mengandung 184 kalori dan segelas bir murni memiliki jumlah kalori lebih sedikit, yakni 137 kalori.
Kita sebenarnya tidak mengonsumsi kalori; kita mengonsumsi makanan dan tubuh kita harus bekerja untuk mengekstrak kalori itu.
“Ini tergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi, wortel, donat atau steak. Tubuh kita harus bekerja dalam derajat yang berbeda-beda untuk mengekstraksi kalori,” kata ahli genetika Giles Yeo.
Label yang kita lihat di kemasan makanan memberi informasi seberapa banyak kalori per sajian makanan itu, tapi label tersebut tak memberi indikasi seberapa banyak kalori yang akan diserap tubuh.
“Untuk setiap 100 kalori yang kita makan, kita hanya menyerap sekitar 70 kalori. Sebanyak 30% dari kalori protein akan dipakai untuk memproses protein sehingga kita dapat menyerap kalori,“ tambahnya.
“Di sisi lain, lemak sangat kaya energi dan juga sangat efisien untuk menyimpan bahan bakar. Untuk setiap 100 kalori lemak yang kita makan, kita kurang lebih menyerap 98 sampai 100 kalori lemak,“ kata Yeo.
Sederhananya, jika Anda memakan 100 kalori keripik kentang, Anda akan menyerap jauh lebih banyak kalori ketimbang memakan 100 kalori wortel.
Yeo mengatakan, metode menghitung kalori untuk diet tak masuk akal, kecuali kita memperhatikan jenis makanan yang dimakan.
Seberapa banyak energi yang kita serap dari makanan tergantung pada berbagai variabel individu seperti usia, jumlah jam kita tidur, berapa banyak bakteri usus dan hormon yang ada dalam tubuh kita, bagaimana kita mengunyah makanan, dan seterusnya.
Ketika membuat makanan olahan (ultra-processed), protein dan serat dikesampingkan sedangkan lemak, gula dan garam ditambah. Sehingga, makanan yang dihasilkan kaya akan kalori, tetapi kurang bergizi.
“Kalori memberikan Anda satuan angka. [Jumlah kalori] tidak ada hubungannya dengan kandungan nutrisi. [Kalori] tidak memberitahu seberapa banyak lemak, gula, karbohidrat, serat, vitamin. Itu permasalahan saya dengan metode menghitung kalori. Itu hanya alat tumpul,“ kata Yeo yang berargumen bahwa perhitungan kalori sebenarnya dapat mendorong kita untuk membuat pilihan yang tidak sehat.
Apa alternatifnya?
Di luar industri makanan, energi tidak diukur dengan kalori, melainkan dengan satuan joule. Beberapa perusahaan makanan kini mencatat nilai makanan dalam kilojoule.
Namun, kalori telah melekat dalam imajinasi publik hingga bisa menyimpulkan bahwa mengonsumsi terlalu banyak kalori itu tidak baik untuk kesehatan.
Sejumlah ahli seperti Bridget Benelam dari Yayasan Nutrisi Inggris memperingatkan kita agar jangan mengesampingkan kalori sepenuhnya. Ia mengatakan meski ada kekurangannya, menghitung kalori sebenarnya ada gunanya.
“Obesitas mungkin adalah permasalahan kesehatan publik terbesar yang kita hadapi sekarang. Maka, memahami apa yang membuat masyarakat kelebihan berat badan dan obesitas itu penting,” kata Benelam.
Bagi sebagian orang yang ingin menurunkan berat badan, ia mengatakan menghitung kalori bisa sangat membantu dalam merencanakan diet penurunan berat badan.
“Penting untuk mengerti apa yang orang sedang konsumsi dan dari mana kalori itu datang. Misalnya, ketika kita ingin melihat apakah masyarakat memakan terlalu banyak lemak yang tersaturasi, kami menghitungnya berdasarkan jumlah kalori yang didapat dari lemak tersaturasi.
“Jadi dari sudut pandang ilmiah, hal seperti itu penting untuk diukur dan penting untuk dipahami,” katanya.
Di Inggris, Layanan Kesehatan Nasional (NHS) mengatakan masyarakat sebaiknya menyeimbangkan antara energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang digunakan.