Masih hangat berita mengenai kasus Chiropractic yang menimpa seorang gadis bernama Allya Siska Nadia belum lama ini. Kematiannya akibat pembuluh darah dibagian leher yang pecah pasca dilakukannya terapi Chiropractic oleh salah seorang terapis asal Amerika masih menjadi sorotan dikalangan publik. Apakah benar Chiropractic adalah metode medis yang berbahaya?
Apakah sebenarnya metode Chiropractic?
Chiropractic berasal dari bahasa Yunani yaitu kata ‘chiros’ yang berarti tangan dan ‘praktikos’ yang berarti praktis. Jadi pengertian Chiropractic sendiri adalah “menggunakan tangan”. Terapi ini ditemukan pertama kali oleh Daniel David Palmer seorang imigran dari Kanada yang tinggal di Amerika pada tahun 1895 dan kemudian berkembang di negara besar seperti Australia, Selandia Baru dan Kanada.
Chiropractic telah menjadi salah satu jenis bentuk terapi untuk tulang belakang di lebih dari 100 negara. Terapi tersebut hanya dilakukan menggunakan tangan tanpa operasi, bahkan anak-anak dan manulapun diperbolehkan melakukannya karena terjamin keamanannya.
Terapi Chiropractic ini berfokus pada pengkoreksian tulang belakang, otot dan persendian syaraf. Koreksi yang dimaksud adalah bagaimana mengoptimalkan gerakan tulang belakang untuk mencegah terjadinya iritasi atau kelainan yang menyebabkan gangguan pada bagian tulang disekitarnya (Subluxation).
Dikutip dari citralife.com, Dokter Inez yang merupakan salah satu praktisi chiropractic dari Citralife Chiropractic mengatakan, “Terapi utama dalam chiropractic adalah koreksi terhadap subluksasi, yaitu gangguan pada letak maupun fungsi dari tulang belakang.” Karena pada dasarnya gerakan yang terjadi pada pesendian memiliki pengaruh pada seluruh syaraf dan struktur yang ada didalamnya seperti otot, organ tubuh, sistem imun dan syaraf keseluruhan.
Subluxation sendiri disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
- Mekanik, misalnya kecelakaan mobil atau terjatuh,
- Chemical, misalnya infeksi, gangguan pencernaan atau respirasi, selain itu juga diakibatkan oleh adanya toksin yang membuat iritasi,
- Stress, misalnya ketegangan seseorang yang mudah panik dan tekanan mental.
Gejala subluxation tidak hanya berupa rasa sakit (nyeri), tetapi dapat juga berupa gejala yang Anda anggap sepele seperti sakit dibagian belakang kepala (tengkuk), sakit pinggang, migrain, kesemutan, nyeri pada tangan dan kaki. Bila gejala tersebut terjadi berulang-ulang maka akan menimbulkan resiko yang lebih serius.
Teknis pengerjaan metode Chiropractic
Sebelum menjalankan metode Chiropractic ada beberapa tahapan yang harus dilewati, diantaranya konsultasi mengenai keluhan pasien untuk melokalisir pemeriksaan. Selain konsultasi pasien juga akan melakukan cek up postur tubuh dengan cara berjalan, range of motion (area pergerakan) dan mitol palpation. Baru selanjutnya pasien akan menjalani rangkaian test ortopedi dan pemeriksaan penunjang lainnya sesuai dengan x-ray atau MRI yang ada.
Selain test tersebut diatas praktisi Chiropractic juga mengecek tubuh dari 4 sisi sehingga dapat diketahui apakah tubuh simetris atau tidak. Kemudian test yang paling sering dilakukan adalah adam’s test yaitu pengecekan postur tubuh apakah terjadi penyimpangan tulang belakang atau yang biasa disebut skoliosis.
Setelah dilakukan pengecekan secara lengkap, barulah pasien melakukan terapi dibagian yang dikeluhkan. Biasanya terapi dilakukan selam 5-10 menit setiap sesinya. Dianjurkan bagi pasien yang sedang dalam fase maintenance untuk melakukan olahraga setiap pagi untuk mendukung terapi yang dilakukan.
Efek terapi dengan metode Chiropractic
Kasus kematian setelah melakukan terapi ciropractic ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah metode yang mampu menghilangkan subluxation ini aman dan tidak memiliki efek samping yang serius. Meskipun ada kasus Chiropractic yang mengakibatkan kematian, di Amerika dan Australia terapi ini tetap menjadi pilihan terbaik untuk mengatasi masalah tulang.
Dalam pengerjaannya, ada beberapa teknik Chiropractic yang berbeda-beda. Ada yang hanya menggunakan tangan untuk memanipulasi sendi, ada pula yang menggunakan instrumen. Ada yang memanipulasi dengan cepat dan keras, adapula yang hanya menggunakan sentuhan ringan. Tergantung pada hasil pemeriksaan sebelumnya.
Meskipun dilansir aman, namun metode ini juga memiliki sisi negatif. Dikutip dari u.msn.com dalam sebuah artikel di The Guardian, Edzard Ernest, Profesor pengobatan komplementer di Peninsula Medical School mengatakan “Sekitar 50% pasien yang menjalani Chiropractic mengeluhkan efek samping nyeri di lokasi yang dimanipulasi yang bertahan lebih dari satu hari. Selain efek samping tersebut, kami mempunyai sekitar 500-700 kasus komplikasi berat yang dilaporkan,” kata Ernest yang mengumpulkan data 60 percobaan acak terapi Chiropractic antara Januari 2000 – Juli 2011.
Efek terparah dari terapi Chiropractic adalah hancurnya pembuluh darah di leher yang dapat menyebabkan stroke hingga kematian. Beberapa ahli syaraf melihat stroke dan hal itu terkait dengan Chiropractic. Sayangnya sebagian besar kasus tersebut tidak dilaporkan. Pecahnya pembuluh darah juga terjadi pada Allya Siska Nadia. Wanita asal Bandung tersebut meninggal dunia setelah melakukan terapi Chiropractic karena pembuluh darahnya pecah. Siska sempat dilarikan ke rumah sakit namun sayang sekali ia tidak dapat bertahan.
Di Indonesia sendiri belum ada kebijakan pemerintah yang mengatur bagaimana terapi Chiropractic ini terhadap dunia medis. Menurut literatur, praktisi Chiropractic yang menjalankan praktek kesehatan ini, baik dokter ataupun bukan dokter harus tetap mengedepankan terapi berbasis bukti penelitian yang ilmiah (Evidence Based Medicine) dan mengerti benar pemahaman yang mendasar dari patofisiologi yang mendasari konsep dan praktek Chiropractic. (Ayu)