Fitness center atau yang lebih sering kita kenal sebagai gym merupakan tempat ataupun sarana olahraga yang sangat bermanfaat dengan keragaman fasilitas yang disediakan. Semua golongan dengan beragam profesi bisa datang kapanpun dengan semua keperluannya seperti, membentuk tubuh, meningkatkan kualitas kesehatan ataupun hanya sekedar menghabiskan waktu. Tapi tahukah REPS Mania bahwa ada sisi “buram” dalam fitness center? Walaupun tak semua fitness center memiliki sisi buram. Lalu sebenarnya Apa sih sisi buram tersebut?
Fitness center sebenarnya telah lama hadir dan menjadi pilihan fasilitas untuk berolahraga di tanah air. Namun terhitung sejak manusia Indonesia menginjak “millennium” baru fitness center semakin mendapat tempat di hati masyarakat, ditandai dengan bercucurannya mega gym yang mengkombinasinya dengan unsur hiburan. Selain itu ragamnya pun kini semakin bercorak, tertanda dengan berkisarnya iuran per-bulan dari yang seharga Rp.50.000 hingga ada yang menembus angka Rp.500.000 (atau lebih) per bulan.
Gym atau fitness center memiliki fungsi yang sangat mendukung dan baik dalam membentuk masyarakat yang sehat, kuat dan dengan hadiah bentuk badan yang ideal. Hampir semua pengusaha, pengelola dan juga instruktur fitness center memiliki tujuan yang sama-sama baik untuk bisa menyediakan, membantu atau menyalurkan niat dan bakat dari para pengguna fitness center (member) dalam menuju tujuan yang diharapkan dari nge-gym. Begitu juga para pengguna gym atau fitness center tersebut hampir semua memiliki tujuan yang baik untuk menuju badan yang sehat, kuat dan terbentuk dengan baik.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, gym atau fitness center bisa menjadi tempat ajang pertemuan, interaksi sosial dan juga ajang bisnis dengan berbagai macam bentuk dan corak. Disamping membangun kesehatan badan secara maksimal, bisa juga membangun hubungan sosial yang baik. Mungkin pula bisa dimanfaatkan dalam membangun jaringan bisnis. Terutama kini di mega gym tidak 100% member yang hadir semata-mata untuk “berkeringat”. Walaupun sifat dan efeknya positif dari keberadaan gym atau fitness center tersebut, namun ada sekelompok pihak yang justru tidak menjadikan sarana olahraga demi menunjang kesehatan sebagaimana mestinya.
Bagaimana kalau hubungan interaksi sosial itu menjurus kepada keinginan hati untuk menjalin cinta dan menabur bunga-bunga asmara? Apakah itu salah? Semua penilaian ada pada diri masing-masing individu, namun menjadi hal yang sah jika para pengguna gym atau fitness center masih berstatus jomblo. Ini bisa merupakan wahana yang baik untuk memilih dan dipilih oleh calon-calon pasangan hatinya. Bagaimana kalau yang sudah berkeluarga (married) ternyata dirasa menemukan kecocokan pasangan yang sesuai dengan hati seperti yang dicita-citakan selama ini, apa masih boleh? Apa masih diperkenankan hubungan itu berlanjut? Semua jawaban ada pada kebijakan diri masing-masing.
Di dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk atau heterogen, segala sesuatu bisa saja terjadi, ketika aktualisasi hati ingin memlilki atau hanya sekedar untuk mencicipi atau bahkan hanya untuk menikmati sesaat, semua akan terlintas pada pikiran masing-masing individu. Ada pula yang mengatakan “otaknya aja yang “porno”, tempat olahraga malah ‘ngeres”, dan tidak salah juga orang tersebut berkomentar sedemikian. Tapi faktanya kini tidak semua orang datang ke pusat kebugaran untuk berolahraga, sebab atmosfirnya di-create semenarik dan senyaman mungkin, sehingga ragam aktivitas di luar nge-gym pun sah saja dilakukan. Jika boleh diistilahkan pusat kebugaran yang berkembang saat ini adalah “sportainment”.
Salah atau benar kembali pada kepedulian masing-masing individu dari semua kejadian yang ada. Namun bukan urusan benar atau salah yang akan kita lihat, tapi fenomena atau kenyataan percintaan yang terjadi pada fitness center. Adakah yang bisa kita lihat atau mungkin ikut menikmati dan atau bisa diambil hikmah dari fenomena tersebut? REPS Magazine mencoba menyuguhkan sebuah realitas yang objektif dalam mendeskripsian fenomena percintaan di pusat kebugaran yang terkadang menyerempet kearah yang berbau negatif.
Sebut saja dia Gerry (bukan nama sebenarnya), seorang instructor fitness dengan perangai yang santun dan humble plus dengan tampang ganteng dan body “mapan”-nya menjadikan dirinya sangat menarik bagi siapapun. Memang besar tubuhnya tidak sebesar binaragawan (bodybuilder), tapi tetap memiliki hiasan definisi otot yang proporsional. Tentunya wanita mana yang tidak akan tergiur untuk melihat dan memilikinya. Bahkan kaum priapun akan mengakui kalau Gerry itu lelaki yang ganteng dan sexy. “Beruntung sekali ya dia (Gerry) mempunyai tubuh seperti itu” demikian kira-kira gumaman yang hadir disetiap pembicaraan para member wanita ataupun pria. Pengakuan sosial seperti itu yang membuat Gerry semakin percaya diri untuk menapak karir sebagai seorang instruktur. Tiada hari tanpa berlatih serta menjaga pola makan yang teratur. Semua dikondisikan untuk membentuk tubuh yang lebih bagus dari hari kehari.
Dari pengamatan yang intensif, sportifitas yang biasa digeluti Gerry justru berdampak sosial yang memaksanya untuk bersikap kurang rasional. Sudah bukan rahasia umum bahwa membentuk ataupun merawat tubuh nan-indah tidaklah murah. Berbicara soal pendapatan, Gerry bukanlah seorang pengangguran. Namun secara logika “itung-itungan” antara pemasukan dan pengeluaran sangatlah timpang. Income tersebut sudah termasuk tips dari klien ataupun sampingan dalam menjual suplemen. Singkat cerita Gerry pun (tanpa tidak sengaja pula) menjalin hubungan terlarang dengan owner gym yang kebetulan “jablai” (jarang dibelai) lantara sang suami adalah seorang pelaut.
Berangkat dari kedekatan dalam hubungan kerja untuk dapat menciptakan sinergi kerja yang lebih maka dibangunlah komunikasi diantara keduannya dengan lebih intensif. Dibagian awal komunikasi, pembicaraan atau obrolan-obrolan yang terjadi hanyalah seputaran pekerjaan dan perkembangan member, program dan yang berkaitan dengan bisnis fitness center itu sendiri. Tapi lambat laun pembicaraan itu berkembang menjadi menceritakan masalah pribadi masing-masing,
Berbeda dengan Gerry, Shinta pun (bukan nama sebenarnya) justru menjadikan waktu nge-gym sebagai ajang untuk mencari mangsa dalam pemenuhan kebutuhan biologisnya. Maklum istri seorang pengusaha yang memiliki teman hidup lebih dari satu, sehingga harus menunggu giliran untuk “ditengok” menjadikan Shinta menargetkan pria berdada bidang di gym sebagai pelampiasan. Ketika REPS tanyakan mengapa harus hunting pelepas dahaga birahi di fitness center? Shinta pun hanya tertawa yang tidak mampu menjelaskan alasannya secara gamblang. Dalam kesempatan yang langka tersebut Shinta sempat menceritakan sebuah pengalaman, ketika ia harus bersitegang dengan sesama member lantaran berebut perhatian seorang personal trainer. Pengalaman selanjutnya, Sinta pernah menghabiskan hampir seluruh jatah uang belanjanya alias “ATM berjalan” demi men-support “seseorang” dalam menghadapi on season.
Namun ketika REPS menanyakan kepada beberapa responden atas dua perihal tersebut di atas justru sebuah kegamangan yang luar biasa hadir, ketika banyak yang menanggapi hal tersebut dengan komentar “Yah hal tersebut masih mending dan wajar. Dibanding mereka yang saling mencintai sesama jenis dan menjadikan gym markas besar komplotan pecinta sejenis”. Believed or not, ternyata hal tersebut pun nyata adanya. Namun REPS tidak ingin membahas ataupun menghakimi segala bentuk fenomena tersebut. Sebab kebebasan dalam beraktualisasi diri masuk dalam kategori kepuasaan hak asasi manusia.
Tapi REPS ingin menghadirkan sebuah pencerahan yang dapat menjadi bahan perenungan dalam perkembangan industri fitness ditanah air. Bayangkan jika sebuah sarana dalam pemenuhan peningkatan kesehatan jiwa dan raga, justru menjadi sebuah sarana pemuas syahwat. Memang urusan perselingkuhan bisa dimanapun dan kapanpun termasuk dipusat kebugaran dan pada saat berolahraga. Lalu, apakah sebagian oknum tersebut mencerminkan slogan Yunani kuno “Mens sana in corpore sano“?
Yang lebih mengejutkan tidak sedikit personal trainer nakal yang suka pilih-pilih klien. Artinya jika kurang tajir yah kurang maksimal pula dalam meraih goal fitness klien tersebut. Prakteknya sering juga terbalik, yakni klien-nya lah yang nakal. Kesempatan saat latihan justru digunakan sebagai timing yang tepat untuk “berpacaran”. Tapi setidaknya tetap terlihat sebuah hal positif, yakni klien dapat memperbaiki bentuk tubuh ataupun menuju goal fitness-nya walaupun terjadi pertukaran kepentingan.
Menjadi hal yang ironis jika sebuah niatan untuk menyehatkan banyak orang, menjadi bermuka dua sebagai sarana “esek-esek” (walaupun bentuk prostitusinya bukan di gym). Kehidupan cinta yang sangat majemuk di era modern banyak memberikan warna dan nuansa yang berbeda. Setiap saat bisa saja membonceng perjalanan karir setiap manusia. Ada hal yang bisa diterima atau ada juga yang tidak bisa diterima oleh akal, budi pekerti serta norma yang berlaku di masyarakat. Pembenaran dan kebenaran semua berpulang kepada individu masing-masing yang sudah dewasa dan dapat mengerti hal-hal yang baik atau yang buruk.
Akhirnya sebuah pertanyaan hadir, apakah harus demikian setelah berlatih sepanjang massa di fitness center kemudian menjadi orang yang hanya bisa mengandalkan bentuk fisik untuk mencari uang ataupun materi? Atau apakah fitness center adalah sarana untuk memilih pria tangguh yang bisa dibeli oleh tante yang sedang kesepian? Kemudian, apakah fitness center menciptakan bentuk mental yang sedemikian? Semua jawaban ada pada individu masing-masing, yang jelas semua kegiatan olahraga adalah untuk membangun jiwa dan raga yang sehat. Agar tercipta sebuah massa depan generasi bangsa yang kuat, tangguh dan memiliki harga diri.
Dari semua fenomena tersebut melahirkan sebuah kekhawatiran, jikalau nyatanya tempat fitness ber-dwi fungsi juga menjadi tempat bermulanya esek-esek. Pastinya pencitraan buruk serta para kaum konservatif berpotensi melarang atau lebih ekstrem mengharamkan keturunannya untuk ikut-ikutan dalam atmosfir sisi negatif fitness center. Masih banyak corak, motif dan warna yang beraneka ragam dalam praktek esek-esek dalam pusat kebugaran. Semua bisa terlihat indah, mengagumkan dan bisa menimbulkan decak kekaguman. Ada yang terbungkus rapat dan rapih, ada yang terbungkus agak transparan dan ada juga yang sudah terbuka secara nyata.
Jadi apa arti atau maksud kita berlatih atau berolah raga di fitness center? Apa tidak takut akan menjadi seperti itu? Semua itu jawabannya bisa “Tidak” dan bisa juga “Ya”. Niat yang sudah kita buat di dalam hati akan terpancar secara nyata dalam kehidupan di dunia ini. Apabila kita memiliki niat dan motivasi yang baik, terarah dan terukur, mudah-mudahan segala hal yang berdampak efek negatif bisa disikapi secara bijak. Hidup yang Tuhan berikan sangat indah, tetapi apakah kita bijaksana bila kita mengisinya dengan hal yang merugikan?
Fenoman yang terjadi memang dibuat oleh sebagaian orang yang tidak bisa menggunakan kegunaan tempat sesuai fungsinya. Tapi tentu hal ini pun harus menjadi pertimbangan dan koreksian. Jika tidak lalu apa bedanya fitness center dengan lokalisasi? Hanya bentuk kedoknya saja berpakaian sporty namun terselip niat buruk dalam rangka pemuasan syahwat. Menjadi sebuah pertaruhan serta kerja keras dalam mendobrak jika paradigma negative tentang fitness center semakin meluas dan nyata adanya. Namun pekerjaan rumah tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama. (AI/ASF)