Prestasi internasional yang membanggakan dalam cabang olah raga sangatlah dirindukan para pelaku olahraga dan seluruh rakyat tanah air. Dalam kondisi kebangsaan yang sedang krisis tentunya prestasi mampu menjadi primadona sebagai sebuah kebanggaan tersendiri dalam kehidupan berbangsa.
Setelah menurunnya kualitas dan prestasi atlet bulu tangkis, maka hampir tiada lagi prestasi cabang olahraga yang mampu bersaing di kancah internasional yang membanggakan. Apakah hal tersebut kegagalan pengurus dalam membina atlet , atau justru negara yang tadinya prestasinya di bawah Indonesia, selalu melakukan evaluasi dan pembenahan?
Berkibarnya Sang Merah Putih di pemerintahan negara lain merupakan sebuah kebanggaan yang tidak ternilai harganya. Berkibarnya Sang Merah Putih dan berkumandangnya lagu Indonesia Raya di mancanegara hanya terjadi jika Presiden RI berkunjung dan kemenangan atlet Indonesia dalam kejuaraan Internasional. Kecintaan dan kebanggaan akan kebangsaan terasa lebih bergelora dikala atlet-atlet mampu mengukirkan tinta emas berupa prestasi dalam membawa nama bangsa menjuarai kejuaraan internasional.
Untuk cabang olah raga khususnya Binaraga, Indonesia memang belum mampu untuk ‘berbicara banyak’. Dengan alasan gen yang dimiliki sebuah bangsa tidaklah sama. Selanjutnya selain gen, komunitas binaraga di Indonesia itu sendiri masih lah sedikit sehingga regenerasi para atlet-atlet baru masih dapat dikatakan jarang dan membutuhkan waktu yang lama. Terlebih lagi sekarang telah berdiri 3 mega gym besar yang semakin mumpuni kini sangat tidak menganjurkan para membernya untuk tidak terlalu berlatih hardcore atau menghindari seqala jenis yang bersifat otot dan berbau binaraga. Ditambah lagi adanya pengelompokan antar atlet binaraga ataupun pemerhati serta pelaku binaraga dengan istilah sebutan ‘Orang-orang PABBSI’ ataupun ‘Orang-orang IKON tertentu’.
Tidak jarang konfrontasi diantara keduanya memanas, tapi baiknya setiap terjadi konfrontasi selalu dapat diselesaikan dengan baik. Namun terjadinya dua blok yang kadang berbeda kepentingan dan idealisme ini mampu menghambat perkembangan serta kemajuan atlet dan binaraga itu sendiri. Namun ditengah perbedaan tersebut, masing-masing kubu pernah dan masih aktif mengirim atlet binaraga nya mengikuti kejuaraan internasional. Walaupun hanya mereka yang berangkat bersama dengan ‘Orang-orang PABBSI’ baik mengikuti single ataupun multi event yang akan tercatat secara resmi sertifikasi prestasinya. Dika- renakan PABBSI memiliki kesekretariatan langsung dengan IOC (International Olympic Committee). Lalu pertanyaannya, Bagaimana cara mereka yang diluar PABBSI mampu bertarung dalam kejuaraan internasional, apalagi untuk membawa harum nama Bangsanya ?
Berangkatnya atlet binaraga Indonesia atau cabang olahraga lainnya tidaklah semata-mata sekedar untuk bertanding saja apalagi sekedar pelengkap atau liburan semata, tetapi secara tidak langsung menjadi duta bangsa yang akan memperkenalkan Indonesia di mata dunia. Bagi mereka yang berprestasi dan mampu mencatatkan namanya sebagai juara di kancah internasional, sepertinya layak disamakan dengan perjuangan para pahlawan. Jikalau dahulu para pahlawan berjuang demi sebuah kemerdekaan, sehingga mancanegara melihat bahawasanya ada sebuah negara baru yang mampu berdaulat dan melepaskan diri dari kolonial. Kini pun para atlet yang mampu berprestasi dalam tingkat internasional atau regional, maka mancanegara akan melihat bahwa Indonesia adalah negara yang harus ditakuti dan disegani.
Nama-nama besar atlet binaraga yang pernah mengharumkan nama Indonesia dikancah internasional belakangan ini terus meningkat. Tentu sederetan nama seperti Syafrizaldy, Wempy, ikon binaraga Ade Rai, dll adalah sebagian dari komunitas binaraga yang mampu mengangkat martabat bangsa di kancah internasional dengan prestasi yang dipersembahkan untuk negara. Dengan demikian dapat membuktikan bahwa atlet binaraga Indonesia mampu berkembang dan menunjukkan jati dirinya bahwa mereka mampu bersaing dengan atlet bangsa-bangsa lain.
Dalam balutan atmosfer hari kepahlawanan, REPS mencoba menampilkan sebuah perjuangan dan aksi para pahlawan binaraga Indonesia yang mengikuti beberapa kejuaraan kelas dunia. Sebagai motivasi dan pembelajaran bagi atlet binaraga yang belum diberikan kesempatan berkiprah di ajang internasional, maka REPS merampung masukan dan pengalaman dari para atlet-atlet besar Indonesia tersebut agar semakin menjamurnya prestasi atlet Indonesia di kancah internasional.
Apa kebanggaan bisa berkompetisi membela tanah air dikejuaraan internasional?
Dari sisi pengurus (dalam hal ini PABBSI) tentu kebanggaan yang dirasakan adalah keberhasilan dalam pembinaan atlet. Tentunya kebanggaan dari para pengurus atau pelatih tidaklah sama dengan yang dirasakan oleh si atlet yang juara. Kebanggaan bagi pengurus atau pelatih lebih kepada kebanggaan mampu melahirkan atau menciptakan atlet dengan kualitas juara dunia. “Tentunya kami ini hanyalah pelaku yang mencintai dunia fitness dan binaraga. Jika perusahaan kami lebih bersifat nirlaba. Artinya demi kemajuan atlet binaraga Indonesia PABBSI akan sekuat tenaga memberikan yang paling baik dengan tidak pernah berharap ada balasan atau keuntungan jikalau atlet binaan kami juara”, ungkap Pak Ronald disela-sela jam kerjanya.
“Bukanlah hal yang mudah menaikkan bendera kebangsaan setinggi 3 meter kurang lebih di negara orang. Ditambah lagi jika terdengar lantunan lagu Indonesia Raya sebagai isyarat bahwa pemenang atau peraih medali emas adalah atlet asal Indonesia”, tambah Syafrizal atlet binaraga yang pernah menjadi no 4 besar dunia. Jerih payahnya selama berbulan-bulan berlatih dan diet yang ketat, ditambah dengan beban moral pergi berjuang atas nama rakyat dan bangsa Indonesia, kemudian menang adalah sebuah anugerah dan kebanggaan yang tiada ukuran untuk menilainya. Bonus berupa ‘rupiah’ ataupun produk baik dari pemerintah ataupun sponsor sudah jelas diterima bagi atlet yang mampu pulang membawa prestasi.
Apakah atlet binaraga Indonesia mampu bersaing dikejuaraan internasional ?
“Untuk urusan size atau ukuran tubuh atau otot jelas atlet Indonesia tidak bisa banyak bersaing, jika dilihat dari ukuran. Namun berbicara soal kualitas otot atlet Indonesia mampu berbicara dan ada kemungkinan untuk di jagokan”, ungkap Ricky Syamsuri menanggapi peluang atlet Indonesia. Binaraga tidak hanya dinilai dari hal ukuran yang terbesar, tetapi banyak hal lain yang menjadi penilaian pokok dalam penjurian. Seperti simetris, kondisi badan, performa di atas panggung, dan kualitas massa otot. Sehingga tidak ada rumus bahwa yang paling besar sudah pasti menang.
Dengan genetika sedemikian, atlet binaraga Indonesia masih sangat berpeluang menjadi juara di kelas bawah seperti kelas 55 kg, 60 kg, atau kelas 65 kg. di ketiga kelas tersebut atlet Indonesia masih berpeluang untuk menjadi yang terbaik. “”Bukan hanya lingkup Asia saja, untuk 3 kelas tersebut Indonesia mampu bersaing, bahkan untuk cakupan dunia di tiga kelas tersebut atlet binaraga Indonesia masih sangat berpeluang. Namun untuk kejuaran di Eropa kelas 55 kg sudah ditiadakan, lantaran jarang atlet binaraga di Eropa yang terkecil minimal 60 kg”, tambah Pak Ronald selaku Kabid binaraga di PABBSI.
Oleh karena hal genetika tersebut, sebaiknya atlet selalu menanamkan dalam dirinya untuk selalu ‘berlatih dan berlatih’. Hal sedemikian untuk menjaga motivasi para atlet agar tidak terlalu ambisius untuk mendapatkan badan yang besar, sehingga terpaksa harus mengambil jalan drugs. Karena kisaran natural atlet binaraga Indonesia hanya mampu berbicara dalam 3 kelas tersebut. Lebih dari kelas tersebut maka sudah bisa dipastikan atlet Indonesia akan menjadi yang paling kecil dibanding peserta yang lain.
Nama-nama berikut Syafrizal, Uus, Cornelis Amo, dan Ade Iman telah terbukti mampu memberikan yang terbaik untuk negara. Bahkan Syafrizal pun mampu bersaing dan dapat finish di peringkat 4 besar dari 56 negara yang berpartisipasi. Tentunya rekor tersebut harus dipatahkan oleh atlet binaraga Indonesia lainnya sebagai pembuktian bahwa atlet binaraga Indonesia mampu bersaing dan mampu menjadi kampiun.
Bagaimana atmosfer suasana serta rivalitas antar atlet binaraga dalam kejuaraan internasional?
Kecenderungan para atlet Binaraga yang berlaga di kejuaraan internasional sangat terlihat ke-individuan nya. Namun berbicara tentang atmosfer dan persaingan, tentunya lebih meriah dan sangat profesionalisme. “Tidak mungkin event sekelas internasional kalah meriah dengan kelas nasional. Tidak berlaku dalam kejuaran tersebut saling mendiskriminasikan antar atlet. Bahkan kerjasama diluar panggung sangatlah tercermin. Seperti pengalaman yang pernah dialami Ricky Syamsuri, “Di backstage Kami saling men-colour, dan sebelum hari ‘H’ kami saling berbagi informasi”.
Hebatnya lagi dalam kejuaraan internasional kita tidak pernah tahu baik itu pemenangnya, juri, dan lawan persis yang akan kita hadapi, semua serba un-predictable namun tetap sportif. Berbeda dengan kejuaraan yang diselenggarakan di tanah air, khususnya yang diadakan oleh suplementasi. Sebelum pengumuman dibacakan semua sudah mampu memprediksi yang akan keluar sebagai pemenang.
Rivalitas yang terjadi sangatlah santun, sportif, dan diplomatis. Terkadang yang keluar sebagai pemenang tidak pernah merasa bahwa dirinya menang. Ia menganggap bahwa peringkat kedua atau ketiga atau peserta di luar 5 besar banyak yang lebih baik dan pantas untuk menjadi juara. Apalagi ketika giliran pose di atas panggung tidak peduli tuan rumah atau dari negara lain, riuh rendah tepuk tangan penonton sangat meriah sebagai bentuk apresiasi kepada atlet yang sedang berpose.
Perbedaan utama dari kejuaraan internasional adalah mereka sanggup dan selalu siap untuk menjalankan acara sesuai dengan agenda yang telah dibuat. Jarang terjadi improvisasi dalam kejuaraan internasional. Semua serba terkonsep dan tepat waktu. Yang pasti rasa haru akan terasa semakin melankolis ketika mampu menjadi juara di kancah internasional.
Selain itu dari sisi hiburan tentu jauh sangat meriah dibandingkan dengan kejuaraan yang pernah ada di tanah air. Namun tentunya hal positif yang patut diterapkan di tanah air adalah berusaha untuk menjalankan agenda tepat waktu, sesuai dengan rundown yang telah dibuat, menciptakan rivalitas bertanding yang sportif, dan tentunya tidak meng ‘anak emas’ kan atlet tertentu.
Ditambah lagi crowd penonton yang sangat excited semakin memacu adrenalin para atlet untuk ingin segera tampil diatas panggung yang diterangi dengan lampu-lampu yang tak pernah henti bersinar menemani atlet diatas panggung untuk melakukan 7 pose wajibnya. Pastinya dalam kejuaraan binaraga internasional, tidak mengenal istilah rasisme, semua campur lebur menjadi satu dalam naungan binaraga.
Bagaimana penilaian penjurian dalam kejuaraan internasional?
Dahulu permainan atau mafia penjurian khususnya pada event yang bersifat multi, seperti Sea Games atau Asian games sering terjadi. Selain ‘money talk’, kepentingan akan supremasi sebuah negara juga bermain. Dalam arti “masak tuan rumah tidak dapat medali” atau mengasihani peserta dari jauh negara penyelenggara. Sehingga terjadi jatah menjatah gelar, misalkan juara satu dari negara ini, kemudian juara duanya dari negara itu, serta juara tiganya dari negara sana dan penghargaan-penghargaan lainnya bersifat sedemikian.
Namun dalam perkembangannya kejuaraan binaraga, kini penjurian lebih menyoroti penilaian pada bagian shoulder dan paha baik hamstring ataupun quadriceps. Tidak ada lagi istilah otot biceps lebih besar dari deltoid akan bisa memenangkan kejuaraan. Atas penyorotan penilaian yang demikian, rupanya membuka wawasan serta kesadaran pada atlet binaraga Indonesia. Mengapa? Karena banyak atlet binaraga Indonesia khususnya yang amatir masih meremehkan dalam urusan membentuk otot lower body terutama otot paha. Sehingga pengalaman yang demikian menjadikan masukan baik oleh atlet itu sendiri, pelatih, manajer, ataupun mereka yang baru akan masuk dalam kegiatan binaraga.
Tentunya penilaian yang harus tetap diperhatikan adalah bentuk simetris otot badan, dalam arti dari leher sampai betis semua harus seimbang. Jangan hanya mengutamakan upper body saja kemudian berharap bisa menang (walaupun sangat amat bagus upper body-nya). Kemudian yang juga menjadi sorotan dalam penjurian adalah kondisi badan atau kualitas dari massa otot. Terkadang atlet binaraga hanya konsentrasi pada size atau ukuran, mereka kurang memperhatikan kualitas dari massa otot yang mereka bentuk. Sehingga tidak jarang atlet binaraga yang merasa kecewa lantaran merasa badannya besar bahkan lebih besar dibanding sang juara. Namun mereka lupa bahwa kualitas massa ototnya masih jauh dari baik walaupun besar.
Penilaian selanjutnya tentu adalah performa atlet diatas panggung. Memang seluruh atlet ketika sudah masuk babak final sama-sama memiliki jatah mempresentasikan 7 pose wajib. Namun jika atlet tidak mampu mempresentasikan 7 pose tersebut dengan gaya atau keunikan tertentu, ditambah lagi mendapat nomor urut agak belakang pastinya juri akan menemukan titik jenuh. Bayangkan jika ada 10 atlet mempresentasikan dengan pose yang sama, namun atlet tersebut tidak bisa membawakan pose tersebut dengan presentasi terbaiknya, walupun kualitas dan size massa ototnya baik dan besar masih ada kemungkinan untuk atlet tersebut akan kalah.
Lantaran juri sudah terlalu jenuh dengan peserta atau finalis yang sudah tampil diawal. Sehingga perlu juga diarahkan performa atlet dalam mempresentasikan 7 pose wajib dengan cara yang lebih natural, kreatif, dan lebih inovatif.
Namun pada dasarnya penjurian di ajang internasional sifatnya objektif, walaupun cabang olah raga binaraga sifatnya subjektif. Tidak perduli atlet tersebut juara bertahan, ikon, ataupun tuan rumah, jika ada yang lebih baik dari dirinya maka tidak ada pembelaan pertimbangan untuk memenangkannya.
Bagaimana status atlet binaraga sepulang dari kejuaraan internasional?
Tentunya mendapatkan apresiasi yang sangat meriah baik dari PB PABBSI ataupun dari Pemda daerah asal atlet tersebut. Layaknya pahlawan mereka di sambut, diberikan selamat, menda- patkan banyak bonus-bonus, dll. Terkadang ketika atlet tersebut kembali bergabung dengan rekan-rekan binaraga di tempat latihan, apresiasi dan kebanggaan rekan-rekan binaraga akan prestasi yang dicapai kembali banyak dihaturkan baik ucapan selamat ataupun pujian.
Namun hampir semua atlet binaraga yang pernah membela tanah air dalam kejuaraan internasional baik yang belum menang ataupun yang menjadi juara, mereka tidak ada sedikit pun yang berlaku sombong atau menjadi jumawa. Justru mereka banyak memberikan masukan, membagi pengalaman, dan banyak menceritakan tentang amosfer kejuaraan yang menjadi motivasi bagi atlet-atlet yang belum diberikan kesempatan mengikuti kejuaraan tersebut.
Tentu harga nilai atlet yang pernah merasakan rivalitas kejuaraan internasional agak menjadi sedikit mahal, jikalau ingin dijadikan sebagai personal trainer. Tetapi banyak pelaku bahkan pemerhati binaraga yang sangat membanggakan mereka yang mampu berkiprah dan berprestasi di kejuaraan internasional. Seakan setiap gelar yang diboyong ketanah air adalah yang pertama kali sehingga sangatlah membanggakan.
Tapi ada pula atlet binaraga yang menganggap bahwa dirinya masihlah bodoh, walupun faktanya ia mampu berprestasi di ajang internasional. “Janganlah pernah menganggap diri mu juara ketika sudah mampu menjadi yang terbaik. Dengan menganggap sebagai juara, apalagi serasa sebagai ikon maka dengan demikian gelar tersebut tidak akan pernah dicapai. Menganggap diri sebagai juara akan mengakibatkan kita puas dan tidak akan pernah mengevaluasi serta latihan lebih keras lagi”, tambah Syafrizal sebelum mengakhiri pembicaraan dengan REPS.
Tentunya banyak harapan rakyat Indonesia, melihat para atlet khususnya atlet binaraga mampu berbicara banyak dengan prestasi demi meninggikan martabat bangsa dalam urusan prestasi dalam cabang olah raga Binaraga khususnya.
Nama-nama atlet binaraga Indonesia yang pernah mengharumkan nama Indonesia di kejuaraan Internasional
1. Ade Rai
2. Syafrizaldy
3. Komang Arnawa
4. Asrelawandi
5. Uus M. Yusuf
6. Ricky Syamsuri
7. Iman Setiaman
8. Yefta Leonidas
9. Agatha Yudistiro
10. Komara Dhitayana
11. Taat Pribadi
12. Heintje Benny Pojoh
13. Cornelius Amo
14. Muslim
15. Markuat Saliamah
16. Edoardus Apcowo
17. Fuadi
18. Hoo Hua Sien