Oleh: dr. M. Freddy Candra Sitepu
Sexologist On Clinic Indonesia
Wati (nama samaran), wanita usia 38 tahun, berperawakan kurus, mengeluh kurang bergairah dan tidak terangsang saat melakukan hubungan suami-istri. Hal ini beliau keluhkan semenjak sebulan kelahiran anaknya yang kelima secara persalinan normal dan dilakukan “tubektomi” sebagai kontrasepsinya. Beliau masih mengalami menstruasi dengan siklus yang teratur. Tidak pernah mengalami riwayat keguguran dan trauma seksual. Hubungannya dengan suami berjalan dengan baik dan harmonis. Tidak memiliki riwayat penyakit dan ayahnya memiliki riwayat hipertensi. Sehari-hari hanya memiliki kesibukan di rumah dan mengurus kiosnya. Beliau tidak pernah mngkonsumsi obat-obatan, tidak merokok, dan tidak pula penggemar alkohol. Akhir-akhir ini beliau sering menolak acapkali suaminya mengajaknya melakukan hubungan suami-istri dengan berbagai alasan. Hal ini membuat hubungan pernikahan mereka menjadi hambar dan semakin menambah kekuatiran dan ketakutannya untuk mempertahankan rumah tangganya. Semakin bingung dan mendorongnya untuk mencari solusi ke dokter yang melayani konsultasi seksualitas dan perkawinan.
Sejalan halnya dengan kasus Pak Awik, pria usia 48 tahun, mengutarakan problemnya kurang gairah dan tidak mendapatkan kepuasan melakukan hubungan suami istri. Keluhan tersebut dialami setelah 5 bulan dilakukannya “vasektomi” sebagai kontrasepsinya. Beliau memiliki seorang istri dan 7 orang anak. Riwayat penyakit hipertensi dan sedang mengkonsumsi anti hipertensi, merokok sebungkus rokok kretek per hari, tidak alkohol dan tidak pernah konsumsi narkoba. Aktivitas pekerjaan tidak begitu sibuk dan dijalani dengan santai. Frekuensi hubungan seksualnya menurun dalam 2 bulan terakhir dan semakin enggan serta kurang percaya diri karena ereksinya terganggu dan orgasme tidak begitu nikmat dibanding sebelum vasektomi. Timbul rasa menyesal karena mengambil keputusan untuk vasektomi dan mencari penjelasan secara rinci ke dokter yang melayani konsultasi seksualitas dan perkawinan.
Dalam sebuah perkawinan kerap kali kontrasepsi menjadi bahan pembicaraan dalam kehidupan sehari-hari. Keputusan ingin membatasi jumlah kelahiran, memberi jarak kelahiran, bahkan menunda mendapatkan anak kembali merupakan tujuan dari pemilihan kontrasepsi. Dewasa ini, banyak kontrasepsi yang dapat digunakan, bagi wanita antara lain: pil KB, kondom wanita, alat kontrasepsi bawah kulit (inplan/susuk KB), suntik KB, alat kontrasepsi dalam rahim (spiral) dan kontrasepsi mantap (tubektomi); sedangkan bagi pria, antara lain: kondom pria dan kontrasepsi mantap (vasektomi). Namun disisi lain, pembicaraan seputar kontrasepsi mantap (kontap) tidak luput dari wacana dan mitos yang menyesatkan. Hal yang keliru dari kontap terutama dampak buruk terhadap kehidupan seksual dikemudian hari akan dibahas lebih lanjut.
Tubektomi dan Fungsi Seksual Wanita
Tubektomi merupakan tindakan medis berupa penutupan tuba fallopi (saluran telur) sebagai kontrasepsi wanita. Tubektomi merupakan kontrasepsi yang sangat efektif, sangat aman, tidak ada efek samping untuk jangka panjang, tidak mengganggu siklus menstruasi, bersifat permanen, tidak mempengaruhi fisiologis fungsi seksual dan dalam keadaan tertentu dapat dipulihkan seperti semula. Biasanya dilakukan setelah seksio caesaria ataupun bedah laparoskop dengan sayatan 1 atau 2 sisi dengan panjang sayatan 1-2 cm pada bagian perut. Tubektomi dapat dilakukan kapan saja, tetapi harus ditunda terlebih dahulu jika baru melahirkan hingga 6 minggu, sedang hamil, penyakit alat kelamin dan penyakit berat yang sedang diderita. Setelah dilakukannya tubektomi, akseptor harus beristirat selama 3 hari, tidak melakukan aktivitas berat selama seminggu dan tidak melakukan hubungan suami istri selama satu minggu.
Sebelum memutuskan kontrasepsi Mantap (KONTAP) tersebut, ada baiknya meminta informasi selengkap-lengkapnya kepada dokter tentang arti keluarga berencana (KB), pola perencanaan keluarga yang rasional, berbagai pilihan metode kontrasepsi yang tepat, kelebihan dan kekurangan metode, tujuan kontrasepsi, komplikasi tindakan, serta rujukan pelayanan kontrasepsi. Kontap ini dilakukan tanpa ada unsur paksaan dari siapapun dan harus mendapatkan persetujuan dari suami. Tubektomi ini biasanya pada wanita usia diatas 26 tahun, memiliki anak lebih dari 2 orang, ataupun memiliki resiko buruk terhadap kehamilan. Setelah dilakukannya tubektomi hal lain yang tidak diinginkan yaitu, problem estetik, gangguan perdarahan, infeksi luka, kehamilan ektopik, bahkan resiko terburuk emboli pulmoner yang mengancam kematian.
Penting untuk diketahui bahwa tubektomi sama sekali tidak memperburuk kehidupan seksual wanita, bahkan akan meningkatkan kepuasan seksual karena bebas dari kecemasan dan ketakutan akan hamil sehingga memungkinkan untuk menikmati aktivitas seksualnya yang sebelumnya tidak pernah sempurna, lebih rileks dan lebih nyaman didapatkannya. Pada tubektomi, melalui pemotongan dan pengikatan tuba fallopi, ovarium (indung telur) masih menjalankan fungsinya, sel telur yang dihasilkan masih diproduksi dan akan diabsobsi jika tidak dibuahi, serta kerusakan jaringan sekitarnya akibat tindakan tubektomi pun sangat minimal sehingga fungsi seksual sama sekali tidak akan terganggu. Selain itu, produksi estrogen, progesteron, follicular stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), testosteron dan hormone seks lainnya tetap diproduksi sediakala dan bekerja siklik-periodik secara fisiologis.
Namun, kebanyakan wanita yang menjalankan tubektomi tanpa melakukan konseling pre-tubektomi sering kali mengalami penurunan fungsi seksual. Kesalahpahaman dan kurangnya informasi ini membuat wanita merasa dalam dirinya ada yang kurang dan tidak sempurna lagi sebagai seorang wanita dewasa akan menimbulkan konflik psikogenik yang mengakibatkan timbulnya depresi. Timbulnya rasa penyesalan setelah dilakukan tubektomi, kecemasan, ketakutan dan depresi, sehingga menimbulkan neurotic symdrome yang akan berdampak pada penurunan hasrat seksual yang akhirnya akan mempengaruhi fungsi seksual. Selain itu, apabila keadaan ini berlanjut terus-menerus akhirnya akan memicu terjadinya menopause spontan iatrogenic (menopause dini yang tidak diketahui penyebabnya) yang akan memperburuk fungsi seksualnya. Keadaan kegelisahan sangat erat kaitanya dengan fungsi endokrin (hormonal), dimana ditemukan testosteron lebih tinggi akan menempati reseptor estradiol, FSH dan LH di folikel ovarium yang menyebabkan folikel lebih cepat atresia sehingga estrogen dan progesteron yang dihasilkan akan lebih rendah. Lain halnya keadaan depresi, diperoleh temuan kadar estradiol yang lebih rendah mempunyai implikasi gangguan mood pada wanita yang akan menurunkan hasrat seksualnya.
Menurut penelitian yang dilakukan dr. J. Purba, Sp.OG pada tahun 1993 di medan, dikatakan bahwa kehidupan seksual paska tubektomi laparoskopi dengan menggunakan cincin fallope sekitar 60% mengalami perbaikan seksual dan faktor usia juga tidak berhubungan dengan kehidupan seksual. Hal ini juga didukung oleh penelitian dr. Alim Sahid, Sp.OG pada tahun 2009 di medan, bahwa konseling pre tubektomi pada akseptor tubektomi akan meningkatkan skor Female Sexual Function Index (FSFI) meliputi 6 struktur penilaian, yakni: hasrat seksual, rangsangan seksual, lubrikasi vagina, puncak kenikmatan seksual (orgasme), kepuasan seksual, penurunan nyeri saat berhubungan seksual. Berlawanan dalam hal ini skor FSFI akan menurun pada akseptor tubektomi yang kurang ataupun tidak mendapatkan informasi melalui konseling pretubektomi. Maka dari itu pentingnya informasi yang benar tentang tubektomi dan pemilihan tubektomi sebagai kontrsepsi andalan akan meningkatkan kepuasan seksual sehingga dapat mengurangi stress dan meningkatkan kedekatan hubungan emosional pasangan yang tentunya akan semakin meningkatkan kualitas hidup pasangan.
Vasektomi dan Keperkasaan Pria
Banyak pria kuatir jika dilakukan vasektomi akan mengakibatkan dirinya seperti dikebiri dan menjadi impoten. Hal ini sangat keliru karena vasektomi sama sekali tidak memperburuk fungsi seksual, namun hanya memberikan dampak terhadap fungsi reproduksi sebagai kontrasepsi andalan pria. Vasektomi itu sendiri merupakan tindakan medis dengan cara memotong dan mengikat saluran sperma (vas deferens) melalui sayatan 0,5-1 cm pada kantung pelir di bawah pangkal penis. Sekarang ini, vasektomi dilakukan tanpa menggunakan pisau bedah sehingga kerusakan jaringan sekitar luka sangat halus. Komplikasi yang muncul pasca vasektomi ialah pembengkakkan, infeksi luka, perdarahan dan nyeri berkepanjangan disekitar buah pelir (post vasectomy pain syndrome). Namun paska vasektomi, akseptor tidak dianjurkan melakukan hubungan suami-istri selama 6 minggu karena dikuatirkan spermatozoa masih ada di atas saluran reproduksi yang dilakukan vasektomi tersebut. Mungkin diperlukan analisa semen setelah 2-3 minggu vasektomi untuk memastikan spermatozoa benar-benar tidak terkandung lagi dalam cairan semen.
Vasektomi tidak mempengaruhi fungsi testis (buah pelir), penis dan kelenjar-kelenjar asesoris sehingga masih dapat melakukan aktivitas seksual, seperti memproduksi semen (air mani) dan berejakulasi. Testis yang menghasilkan spermatozoa bila tidak dikeluarkan melalui aktivitas seksual maka sekitar 100 hari spermatozoa akan mati dan 40-50% spermatozoa akan diabsobsi dengan sendirinya. Setelah vasektomi, testis masih menghasilkan spermatozoa, akan mati dan diabsorbsi, serta masih memproduksi testosteron yang terlibat dalam mengatur hasrat seksual dan ereksi pria. Justru dengan vasektomi, seorang pria akan semakin percaya diri melakukan hubungan suami istri karena terbebas dari kecemasan dan ketakutan terhadap potensi kehamilan yang tidak direncanakan dan lebih nikmat dibandingkan penggunaan kondom sebagai kontrasepsi pria. Namun pilihannya, saya kembalikan lagi kepada para pembaca mana yang lebih baik bagi Anda.!!